Masa depan TikTok di Amerika Serikat masih menjadi teka-teki, sebuah saga yang memadukan raksasa teknologi global dengan isu keamanan nasional dan dinamika politik yang bergejolak. Menjelang tenggat waktu terkini, Presiden Donald Trump kembali memberi sinyal akan adanya perpanjangan izin operasional bagi platform media sosial asal Tiongkok ini. Sebuah langkah yang membingungkan banyak pihak, mengingat undang-undang federal secara jelas menuntut penjualan TikTok ke entitas AS atau menghadapi pelarangan total.
Kisah berliku TikTok berakar dari Undang-Undang Perlindungan Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing tahun 2024. Regulasi yang disahkan dengan dukungan bipartisan kuat tersebut bertujuan mengatasi kekhawatiran Washington tentang potensi transfer data pengguna ke Beijing dan pengaruh pemerintah Tiongkok. Aturan itu mewajibkan ByteDance, induk TikTok, untuk melepas unit operasionalnya di AS kepada pembeli non-Tiongkok.
Pada Januari 2025, saat hukum mulai berlaku, TikTok sempat dilarang singkat selama 14 jam. Namun, tak lama setelahnya, Presiden Trump, yang baru saja dilantik, mengeluarkan perintah eksekutif pertama, memberikan penangguhan 75 hari. Kesempatan itu seharusnya dimanfaatkan ByteDance mencari pembeli AS. Nama-nama besar seperti Microsoft, Oracle, dan Amazon sempat muncul sebagai calon kuat. Sayangnya, negosiasi terus terganjal, terutama karena persetujuan Beijing juga mutlak diperlukan, sebuah persetujuan yang sulit didapat di tengah ketegangan perdagangan dan tarif baru dari pemerintahan Trump.
Begitu tenggat 75 hari pertama hampir habis pada awal April, Trump kembali meneken perintah eksekutif, memberikan perpanjangan kedua, lagi-lagi selama 75 hari. Kini, jelang batas waktu 19 Juni, Gedung Putih mengkonfirmasi perpanjangan ketiga selama 90 hari akan segera terbit, menggeser tenggat berikutnya hingga 1 September 2025.
Manuver Trump menggunakan perintah eksekutif ini unik. Secara hukum, undang-undang hanya mengizinkan satu kali perpanjangan 90 hari. Namun, strategi berulang administrasi ini secara efektif memungkinkan TikTok terus beroperasi, meski secara teknis melanggar hukum federal. Situasi ini memicu pertanyaan tentang sejauh mana wewenang eksekutif dalam menegakkan mandat kongres. Perubahan sikap politik Trump juga menarik perhatian. Dulu pendukung pelarangan TikTok di masa jabatan pertamanya, kini ia menjadi pengguna aktif platform itu setelah dilarang dari layanan Meta pasca-insiden Capitol Hill 6 Januari 2024 lalu. Kini, Trump, yang bangga disebut bintang besar di TikTok, memanfaatkan platform ini untuk menjangkau pemilih muda.
Inti dari dorongan awal untuk divestasi atau pelarangan adalah kekhawatiran privasi data dan potensi propaganda Beijing. Para pejabat AS berulang kali memperingatkan risiko ByteDance bisa dipaksa berbagi data pengguna Amerika, meskipun perusahaan terus membantahnya. Ironisnya, di tengah semua kekhawatiran, popularitas TikTok justru kian melejit, seperti diungkap studi Pew Research. Ketidakpastian yang tak kunjung usai ini terus membayangi kreator, pebisnis, dan pengiklan.
Per Mei 2025, ByteDance masih memegang mayoritas saham TikTok, meski 60% sahamnya dimiliki investor global, 20% oleh pendiri, dan sisanya oleh karyawan, termasuk banyak di AS. Hasil dari saga divestasi ini, jika memang terjadi, akan membentuk ulang tidak hanya kepemilikan TikTok, tetapi juga menetapkan preseden tata kelola teknologi internasional.